Widy mengambil pelan tangan Delfian yang ini sedang mengelus pipinya lalu menaruh tangan yang cukup besar itu dengan perlahan. Widy tak tahu kenapa Delfian tiba-tiba menjadi orang yang begitu protektif dengan dirinya. Tatapannya begitu aneh, bagai ingin menunjukkan sesuatu yang tak biasa. Bukan sebuah tatapan hangat sebagai seorang kakak yang selama ini ia dapatkan.
Pikiran Widy kini melayang kemana-mana tentang apa yang terjadi dengan Delfian. Tapi ia langsung mengembalikan pikirannya dan tersenyum sedikit.
"Udah yan, udah selese kan?" Widy bangkit dari duduknya, "kita turun yuk."
Delfian mengangguk lalu ikut berdiri juga dan berjalan turun bersama Widy.
Minggu, kolam renang Integerity Corporation
Matahari sangat terik menyinari kota Jakarta siang ini. Cakra dan Delfian sedang menghabiskan akhir pekan di kolam renang pribadi Integerity Corporation, tempat Delfian bekerja. Delfian merupakan slaah satu orang yang penting dengan jabatan tinggi walaupun masih muda, jadi untuk mendapatkan fasilitas seperti ini bukanlah hal yang sulit baginya. Sedangkan Cakra, selain Delfian yang bekerja di Integerity, pamannya juga merupakan salah satu pemilik saham perusahaan di bidang ekspor-impor ini.
Kolam renang besar ini terletak di lantai paling atas gedung 18 lantai dengan atap kerucut yang begitu unik sebagai atapnya. Kolam renang yang khusus didirikan bagi petinggi-petinggi Integerity atau terkadang dipakai tempat latihan perenang tim nasional Indonesia. Dengan fasilitas yang cukup lengkap : ruang ganti baju yang benar-benar qualified, papan loncat, tempat santai di pinggir kolam, dan jika ingin kudapan-kudapan atau bahkan makanan berat setelah berenang, tinggal telepon atau turun satu lantai ke International Integerity Private Restaurant.
Klek! Kunci pintu kamar mandi dibuka. Cakra keluar dengan handuk yang melingkar dipinggangnya. Ia mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil berkali-kali sambil berjalan menuju arah Delfian yang kini sedang mencari baju ganti di lokernya.
"Mana sih baju gue?" tanya Delfian yang mulai jengkel dengan baju yang sedari tadi tidak ia temukan.
"Sabar pak, makanya cari pake perasaan. Hahaha." kata Cakra menanggapi.
"Halah, sok bijak lo!" Delfian kembali berkutat dengan lokernya, "nah, ini dia!"
"Tuh kan, saya sih bukan sok bijak." Cakra tak mau kalah.
Berenang di kolam renang eksklusif ini merupakan rutinitas Delfian dan Cakra setiap dua minggu sekali dan hanya boleh dihadiri oleh mereka berdua saja. Mereka menyebutnya Male's time. Selain untuk berolah raga, datang ke tempat ini juga untuk membicarakan guy's problem yang memang benar-benar hanya boleh diketahui oleh laki-laki saja.
Sambil memakai kaos hijau toska bergambar Simpsons-nya, Cakra teringat sesuatu yang harus ia tanyakan pada Delfian sekarang juga.
"Yan?" panggil Cakra.
"Hmm." jawab Delfian sederhana sambil tetap memasukan handuknya ke dalam tas olah raga.
"Lo ada apa-apa ya sama Widy?" tanya Cakra langsung tanpa basa-basi.
"Hah?"
"Iya. Gue penasaran aja, abis kemarin pas lo ngambek Widy yang menghibur lo. Bisa bawa lo turun lagi!"
Delfian menutup tas olah raganya dan langsung menatap Cakra tepat di matanya.
"Kalau memang bisa ada apa-apa, gue malah seneng Kra." jawab Delfian singkat lalu segera berjalan meninggalkan ruang ganti baju.
"Hey! Jangan pergi dulu donk!" Cakra pun cepat-cepat membereskan peralatannya dan mengejar Delfian, "jadi maksud lo, lo suka sama dia?"
"Hmmm, pikir sendiri bocah."
"Oke, gue anggap hal itu sebagai 'iya'." Cakra tersenyum lebaar sekali, senang dengan adanya hal ini.
Cakra tak pernah menyangka bahwa hal seperti ini akan terjadi juga--walaupun gerak-gerik Delfian sudah menunjukan bahwa ia suka dengan Widy sejak dulu. Memang mereka telah dewasa. Masih tersimpan betul di otak Cakra pertama kali mereka semua bertemu di rumah Tara bertahun-tahun yang lalu. Dan sekarang, sudah ada yang suka-sukaan.
Cakra tak pernah mengerti mengapa dari sahabat tak boleh jadi pacar. Maksudnya, banyak orang yang bilang seperti itu padanya. Ya, mungkin memang canggung, tapi bukankah sahabat itu lebih mengerti tentang kita jadi kalau pacaran nanti tidak ada yang ditutup-tutupi. Itu menurutnya.
Masih dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya, Cakra berjalan menuju Audi A6-nya, memasukan barang-barangnya ke kursi belakang, dan bersandar di mobilnya dan melihat Delfian yang juga sedang membereskan barangnya.
"Kayaknya Subaru keren ya? Subaru Forester kan?" tanya Cakra yang sangat cinta dengan bidang otomotif.
Delfian menengok sedikit, "Yup. Parah lo, Kra. Udah punya Audi juga udah keren banget kali! Audi A6 lagi!" Delfian menggeleng-gelengkan kepalanya melihat temannya yang suka ganti-ganti mobil ini. Papa Cakra memang seorang pengusaha otomotif besar terutama mobil dan khususnya mobil-mobil yang jarang ada di Indonesia. Baru tahun lalu kunci Volkswagen Passat di tangannya lallu sekarang Audi A6 Quattro yang harganya hampir 1 milyar itu sudah menemaninya selama kurang lebih 2 tahun.
"Yee gue cuma nanya kali. Gue gak sampe segitunya suka sama mobil. Gue gak tahu tuh bokap gue lagi kesambet apa mau beliin gue ini. Padahal waktu itu gue cuma iming-imingi IP gue yang lagi 3,7 dan satu proyeknya yang sukses di tangan gue. Terus besoknya, dia bener-bener cariin. Mantap banget waktu itu!" cerita Cakra sambil tertawa mengingat hal itu. Audi A6 Quattro memang akan menemaninya dalam waktu yang cukup lama.
"Iyalah mantap! Satu Audi lo itu bisa dituker sama tiga Forester, Kra!"
"Udah lah, belum Audi A8. Hahahahaha! Bercanda gue."
"Dasar lo! Eh, gue balik duluan ya. Lo sama cewek-cewek mau ngumpul dimana?"
"Emm, antara Fizcoff atau Warung Bebek Pak Hamid. Nanti gue sms deh."
"Oke, nanti gue nyusul. Balik, ya!"
"Sip."
Delfian masuk ke dalam mobilnya dan langsung tancap gas meninggalkan lapangan parkir Integerity Corporation.
Lapangan Parkir Blossom Bookstore, 12.44
"Beny!" teriak Widy yang sedang mengejar Beny--bersama Tara dan Airis--yang berjalan cukup cepat, menghindari tiga cewek yang dari tadi mengikutinya terus.
Beny berhenti, "Kalian pada ngapain, sih?" tanyanya dengan tatapan sangat terganggu. Dengan sekantong buku-buku di tangannya, ia menunggu jawaban dari tiga cewek yang sedari pagi mengikutinya terus.
Hari ini memang Widy, Tara, dan Airis sudah merencanakan untuk "pendekatan" dengan Beny. Mereka tahu, Beny sendiri juga akan bingung dengan apa yang mereka lakukan. Baru saja bertemu satu kali, lalu langsung ingin dijadikan sahabat. Apa nggak aneh? Tapi Widy, Tara, dan Airis entah mengapa yakin bahwa Beny adalah orang yang cocok jadi sahabat.
"Emm gini Ben, jangan marah dulu," jawab Tara, "kita cuma pengen ngajakin lo jalan kok. Ke FIzcoff gitu.. Tapi terserah lo, sih."
"Jadi dari tadi lo bertiga ngintilin gue buat ngomong gituan?"
"He eh." jawab Airis.
"Kenapa harus nunggu sampai siang?"
"Habis muka lo serem banget sih Ben, jadi kita takut ngomongnya." jwab Widy sambil cengengesan.
Beny tak menjawab. Ia memalingkan mukanya ke arah lain, nampak sedang menimbang-nimbang tawaran mereka. Setelah berfikir beberapa detik, Beny kembali menatap ketiga cewek yang saat ini sdang memasang wajah penuh harap. Beny mengangguk kecil sambil tersenyum penuh arti. Lonjakan senang langsung terlihat di wajah Tara, Widy dan Airis. Mereka bertiga tersenyum sangat lebar, merasa puas dengan usaha mereka yang berhasil.
"Kemana?" tanya Beny.
"Emm, Fizcoff aja deh. Lebih adem!" kata Airis memberikan usul.
"Bener tuh Ris. Ya udah, Fizcoff Ben!" kata Tara semangat.
Beny kembali mengangguk, "Nanti gue nyusul." tanpa bayak basa-basi lagi, Beny langsung meninggalkan "trio"nya dan berjalan menuju Bajaj Pulsar 220 DTS-Fi warna birunya dan pergi meninggalkan toko buku kesukaannya itu.
Tak lama melihat Beny pergi, Tara, Widy, dan Airis juga langsung naik mobil Airis menuju Fizcoff. Ini akan jadi hari yang sangat berbeda.
Fizcoff, 13.12
Fizcoff siang ini sangat ramai sekali. Selain karena sekarang jam-jam makan siang, mungkin karena Fizcoff sedang mengadakan banyak sekali promosi. Fizcoff yang memang sudah berdiri sejak lama ini butuh ide-ide baru dan berbagai macam promosi supaya namanya tidak tenggelam diantara coffeshop lain yang semakin hari semakin bejubel. Walaupun untuk Cakra, Widy, Tara, Delfian, dan Airis, tetap Fizcoff tempat ngopi yang paling enak.
Airis, Tara, dan Widy sudah duduk dari seperempat jam yang lalu di salah satu sudut Fizcoff yang paling jadi favorit. Di depan mereka masih ada tiga bangku kosong yang belum diisi, tentu saja untuk Delfian, Cakra, dan Beny. DI atas meja sudah tersedia 3 buah seafood platter, 3 porsi french fries, 2 gelas ice espresso (untuk Delfian dan Cakra), 2 gelas Ice Latte (untuk Tara dan Widy), dan 1 gelas Caramel Chocolate Blended untuk Airis. Sedangkan untuk Beny, mereka tak tahu harus memesan apa.
Tak lama waktu berselang setelah makanan datang, Delfian masuk ke dalam Fizcoff, melihat-lihat sebentar lalu mendatangi meja yang ia yakin itu tempatnya. Setelah itu Cakra datang dengan sedikit terengah-engah dan mengucapkan ribuan kali maaf untuk keterlambatannya ini. Cakra adalah seseorang yang menjunjung tinggi nilai on-time. Mereka lima pun berbicang sebentar sambil menunggu Beny.
"Eh, gak kerasa ya lusa tuh udah libur. Tiga bulan lagi!" kata Cakra mengingatkan libur panjang yang ia tunggu-tunggu.
"Oh, kalian lusa tuh libur." Delfian mengangguk-angguk.
"Yup. Eh, itu dia Beny dateng!" kata Airis yang melihat sesosok tinggi dengan kemeja biru muda masuk ke dalam Fizcoff.
Beny juga melihat Airis yang saat itu heboh sekali, tanpa ekspresi apa-apa ia mendatangi meja yang sudah dihuni 5 orang tersebut.
"Hei Ben! Duduk-duduk," kata Widy mempersilahkan Beny duduk.
Melihat ada seorang baru yang duduk, seorang pelayan yang nampaknya cukup tanggap dengan kedatangan tamu langsung mendatangi meja dan bertanya pesanan Beny.
"Hot Latte." kata Beny singkat lalu tersenyum kepada mbak-mbak penjaga Fizcoff. Pelayan itu pun pergi.
"Ben, lusa libur pergi kemana?" tanya Cakra membuka pembicaraan.
"Gak kemana-mana." jawab Beny.
"Oohh,"
Delfian hanya diam melihat kedatangan si Beny-beny ini, ia lebih banyak menunduk ke bawah, pura-pura sibuk dengan iPhone-nya sambil sesekali melihat sosok Beny yang kini duduk persis tepat di depannya. Tinggi, rambut cepak, kulit sawo matang, kemeja, jeans, dan tas selempang army yang terlihat belel. Tipe-tipe mahasiswa biasa. Walaupun Delfian juga mengakui, kalau yang namanya Beny ini memang manis banget buat seorang cowok. Meski wajahnya manis, tapi ia nampak cowok banget.
"Emm, oke gue tanya langsung. Maksud kalian semua apa sih? Tiba-tiba manggil gue ke sini?"
"Gak kenapa-kenapa kok, Ben. Kita cuma pengen kenal lo gitu."
"Iya, tapi apa konteksnya. Oke, gue tolongin Widy kemaren pas dia mau ketabrak. Gue ga ngerti lo ngapain."
"Cuma pengen sahabatan aja. Ingin lo ikut jalan bareng-bareng kita, seperti biasa."
"Ya thanks deh kalo gitu." jawab Beny yang tak tahu lagi harus bicara apa.
Drrrr.. drrrr... handphone yang masih di silence bergetar.
"Halo? Kenapa Pa?"
....
"Hah? Ngapain ke sana?"
....
"Ooh, oke. Nanti malem aja bicarain. Iyaaa.."
Klik, telpon ditutup.
"Om Ando ya Yan?" tanya Widy.
"Iya Wid, Papaku bilang dia mau ke Cina minggu ini. Ada tugas." jelas Delfian.
"Eh, gimana kalau liburan ini kita ke Cina aja!" tiba-tiba cakra berteriak dengan idenya yang langsung melintas di otak, "ya kan, Ben?"
"Hah?" Beny menatap Cakra dengan bingung.
to be continued
next chapter two.
:D
Sabtu, 12 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar