Sabtu, 21 November 2009
Garlic Bread Series Chapter IIA
"Hah? Kenapa nanya gue?" kata Beny tampak kaget dengan perkataan Cakra yang tiba-tiba.
"Ya udah," Cakra tampak berpikir, "Bener kan? Ke Cina aja! Gimana?"
"Emangnya di Cina ada apa, Kra? Kok tba-tiba pengen kesana?" tanya Airis setelah meneguk kembali Caramel Chocolate Blendednya yang tinggal setengah.
"Hmm, ya ada Great Wall, Tian An Men Square, banyak lagi! Lagipula sekali-kali kita juga harus menjelajah Asia. I mean di luar Asia Tenggara. Biasanya kan kita cuma ke Amrik atau Eropa, kan?"
"Iya sih," Widy memutar matanya, melihat ke segela arah sambil memikirkan gagasan Cakra ini, "gue setuju sama Cakra." kata Widy sambil tersenyum.
Senyum Cakra mengembang sangat lebar. Ia tahu dan ia yakin, jika Widy sudah bersedia mengikuti gagasannya, maka Delfian juga. Brarti dua orang sudah menyetujui--walaupun yang satunya secara tidak langsung.
"Iya, Cina boleh. Gue ikut aja." kata Delfian singkat menanggapi perkataan Widy lalu kembali sibuk dengan e-mail lain dari relasi dan kliennya di Canberra.
Tuh kan! Cakra kembali tersenyum, ternyata ia memang benar.
"Eh, gimana yang lainnya? Tiga orang udah confirm nih!" tanya Cakra lagi untuk sekian kalinya.
"Cina, ya?" Tara mulai bicara sejak daritadi diam saja, "terdengar menarik sih, Kra. I'm in!" Tara tersenyum. Ia punya firasat yang cukup baik tentang perjalanan kali ini, sounds interesting.
"Ris?" kini giliran Widy yang bertanya untuk memastikan liburan ini.
"Hmm, kalau udah lebih dari lima puluh persen setuju gini emangnya masih bisa ngelak, ya? Hahaha, gue ikut kok." kata Airis sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa yang empuk--kebanggan Fizcoff. Ia selalu bahagia melihat suasana seperti ini. Ketika ide menyenangkan muncul dari pikiran salah satu dari mereka, dan dengan semangat dan antusias pula mereka membahasnya.
"Wow! Oke ya? Nanti malem gue langsung browsing sama Delfian cari tiket, akomodasi, sebagainya deh! Nanti kalian terima beres. Sekalian tanya Om Ando juga dia perginya gimana?" jelas Cakra bersemangat.
"Iya. Nanti malem langsung gue kabarin." kata Delfian ikut menjelaskan tapi masih memencet-mencet handphone-nya yang touch screen itu.
"Eh!! Tunggu dulu," kata Airis tiba-tiba.
"Apa Ris?" tanya Cakra dengan nada agak bingung sambil menaikan satu alisnya--kebiasaan.
"Beny?" Airis tersenyum 'licik'.
"Eh, iya Ben! Lo ikut kan?" tanya Widy dengan muka excited.
"Emang harus?" Beny mengerutkan keningnya.
"HARUS!" jawab Tara, Airis, Widy, dan Cakra bersamaan dengan keras sedangkan Delfian masih sibuk sendiri.
Subaru Forester Delfian, 15.22
"Why I live in despair?
Cause while awake or dreaming
I know she's never there
And all this time I act so brave
I'm shaking inside...
Why does it hurt me so?"
Heaven Knows - Rick Price
Mungkin lagu lama itu sudah Delfian ulang hingga ratusan kali dan ia memang tak pernah bosan. Lagu itu setidaknya harus adadi dalam mobil, handphone, dan iPod-nya. Ia rasa lagu itu cukup menggambarkan dirinya saat ini.Walaupun sebenarnya lagu Kahitna berjudul 'Andai Ia Tahu' lebih tepat menggambarkan situasinya, tapi ia merasakan hal lain dari lagu ini. Rick Price menyanyikannya dengan penuh perasaan sehingga bisa dibilang menyentuh.
Hujan deras masih turun di luar. Sebenarnya hari ini tidak macet, tapi karena hujannya begitu deras, jarak pandang Delfian berkurang cukup fatal jadi ia memutuskan untuk berjalan pelan-pelan saja demi keamanan. Dan mungkin untuk menambah waktu sendirinya. Subaru Foresternya merupakan salah satu tempat favorit Delfian untuk menyendiri selain loteng rumah Cakra. Kondisi hujan, ac dengan dingin yang pas, wangi jasmine yang samar-samar dari parfum mobil, dan lagu kesukaannya menciptakan suasana yang terlampau nyaman untuk merenung--salah satu hobi Delfian.
Widy. Nama yang menurutnya sederhana tapi indah itu terlintas lagi dipikirannya. Kalau mau jujur, sebenarnya tadi Delfian bukan siuk dengan e-mailnya, Memang sih ia juga harus membalas beberapa e-mail, tapi 15 menit terakhir, ia hanya pura-pura. Daripada mumet dengan pekerjaannya, ia lebih memilih memperhatikan Widy diam-diam. Oh ya, dia memang cukup pengecut untuk hal-hal seperti ini. Boleh saja ia adalah seorang pemimpin berkarisma tinggi bagi bawahan-bawahannya, tapi untuk berhadapan dengan cewek, Delfian mungkin lebih payah dari cowok normal lain.
Ia tidak tahu kapan rasa ini muncul, yang jelas tiba-tiba ada. bahkan Delfian tidak tahu bagaimana prosesnya, yang ia tahu, iadan Widy memang sudah bersahabat dari kecil. Dan dari SD, SMP, SMA, bahkan kuliah, semuanya biasa saja. Fiuh, ini memang melelahkan sekali baginya. Setelah lama berjalan dengan kecepatan lambat, akhirnya Delfian tancap gas melewati tirai hujan yang masih lebat belum berhenti juga.
Dan hal terakhir yang terlintas dipikirannya, ia hanya ingin Widy tahu. Tapi ia tidak tahu bagaimana caranya. Walaupun Widy mengetahui perasaannya pun bukan berarti hal yang baik. Delfian tidak berani berharap banyak dengan keinginannya ini, mungkin teralu sulit untuk dicapai. Yang jelas, ia masih butuh waktu untuk menyiapkan diri atas semua konsekuensi yang terjadi nantinya.
Rumah Cakra, 10.46
Tok tok tok! Pintu rumah Cakra yang terbuat dari kayu jati itu diketuk sehingga menimbulkan suara yang agak terpendam. Cakra berlari dari atas kamarnya untuk membukakan pintu karena hari ini di rumahnya tidak ada siapa-siapa. Papa dan Mama pergi ke Surabaya untuk merayakn pesta pernikahan saudara lalu Pak Kasim, supir sekaligus teman curhatnya kalau di rumah sedang pulang kampung karena anaknya sedang sakit.
"Hai Kra," suara pelan itu menyapanya ketika ia membuka pintu, tanpa harus melihat lagi wajah si tamu ia sudah tau siapa yang datang.
"Airis? Tumben malem banget?"
"Iya." jawab Airis lirih sambil tertunduk ke bawah.
"Ya udah, masuk-masuk! Diluar masih gerimis." Cakra mempersilahkan Airis masuk dan duduk di ruang tamu.
"Bentar ya, ambil minum dulu." Cakra segera berlari menuju dapur yang leatknya memang agak jauh dari ruang tamu. Airis tersenyum sambil mengangguk.
Suasana rumah Cakra masih sama. Rumah yang paling sering dijadikan tempat ngumpul ini masih menyuntikan suasana hangat pada setiap tamunya. Tata penerangannya yang pas memberikan sensasi dramatis yang berbeda dari tiap ruangan. Paling tidak diantar rumah mereka berlima, rumah Cakra yang paling nyaman. Lampunya masih sama, jamnya masih sama, karpetnya masih tetap halus, dan bunga-bunga asli disudut ruangan yang indah itu masih tetap segar.
"Teh aja gak pa-pa kan?" tanya Cakra membawa dua gelas teh, menaruhnya di meja, lalu duduk di sebelah Airis.
"Makasih."
"Oh ya, kenapa Ris malem-malem kesini?" tanya Cakra to the point.
Airis diam saja, tidak menjawab sepatah kata pun. Suara tangisan kecil terdengar samar-samar yang membuat Cakra kaget lalu langsung menengok--padahal saat itu ia sedang menyeruput teh. Cakra melihat bahu Airis bergetar, ia tertunduk ke bawah.
"Ris?"
AIris masih tidak menjawab namun suara tangisnya makin terdengar. Satu persatu tetesan air mata jatuh membasahi celana jins Airis. Cakra bingung dengan apa yang terjadi, ia tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Bagaimana tidak kaget? Sudah mau jam 11, Airis datang ke rumahnya, lalu menangis. Kenapa dia?
Entah dapat dorongan dari mana, tangan Cakra perlahan merangkul tubuh Airis lalu mendekatkan dara yang sedang menangis itu ke tubuhnya. Airis membiarkan kepalang bersandar di bahu Cakra yang mungkin sekarang kaosnya sudah mulai basah akibat tangisannya.
"Entah apa yang terjadi, Ris. Tapi gue percaya semuanya akan baik-baik saja." kata Cakra perlahan, memeluk Airis lebih erat.
Rasa nyaman menjulur tubuh Airis. Ia tidak tahu dapat pencerahan darimana, yang jelas ia ingin menemui Cakra menceritakan segalanya, cuma pada Cakra. Dan sepertinya ia tidak salah orang untuk saat ini. Rasa nyaman yang ia butuhkan, rasa tentram, dan kehangatan dari pelukan Cakra membuatnya lebih baik. Setidaknya untuk saat ini. Walaupun ia masih menangis, Airis merasakan sedikit kebahagiaan--dan ia tidak yakin asalnya.
Cakra mungkin tidak merasakannya tapi rasa untuk mau melindungi itu ada dalam dirinya dan semakin kuat saja. Ia masih memeluk Airis yang menangis dan menambah sedikit kekuatan pelukannya. Ia tidak merasa aneh dengan pelukan ini. Yang ia rasa, gadis satu ini perlu dilindungi.
Malam itu dihabiskan dengan tangisan dalam hening, pelukan hangat, dan rasa menggelitik dalam hati masing-masing.
Ini apa? Cinta?
to be continued.
sorry for the big big late. :)
enjoy.
Sabtu, 03 Oktober 2009
For your Info : Delfian, Cakra, dan Beny's auto



(2)
(1)
(1) mobil Delfian. Subaru Forester. Harganya sekitar 300-500 jutaan (dari internet). Warnanya ya kayak gini, grey. Delfian belinya setelah nabung dari beberapa tahun gajinya plus tambahan dari orang tuanya.
(2) mobil Cakra. Audi A6 seri C6 2.8 Quattro. Harganya sekitar 700-920 jutaan (dari internet). Warna mobil Cakra hitam kayak gambar. Sistemnya 4WD. Tahu Transporter2? DI transporter 2, si John Stathan pake Audi kan? Emang mirip kayak gini, tapi itu Audi A8 (lebih tinggi dari ini) harga Audi A8 berkisar 900-1 Milyaran.
Yang motor punya Beny. Bajaj Pulsar 220 DTS-Fi. Harganya beragam bisa cari sendiri kalau mau tahu. karena CCnya beda-beda.
That's the Information.
:D
Sabtu, 12 September 2009
Garlic Bread Series Chapter IC
Widy mengambil pelan tangan Delfian yang ini sedang mengelus pipinya lalu menaruh tangan yang cukup besar itu dengan perlahan. Widy tak tahu kenapa Delfian tiba-tiba menjadi orang yang begitu protektif dengan dirinya. Tatapannya begitu aneh, bagai ingin menunjukkan sesuatu yang tak biasa. Bukan sebuah tatapan hangat sebagai seorang kakak yang selama ini ia dapatkan.
Pikiran Widy kini melayang kemana-mana tentang apa yang terjadi dengan Delfian. Tapi ia langsung mengembalikan pikirannya dan tersenyum sedikit.
"Udah yan, udah selese kan?" Widy bangkit dari duduknya, "kita turun yuk."
Delfian mengangguk lalu ikut berdiri juga dan berjalan turun bersama Widy.
Minggu, kolam renang Integerity Corporation
Matahari sangat terik menyinari kota Jakarta siang ini. Cakra dan Delfian sedang menghabiskan akhir pekan di kolam renang pribadi Integerity Corporation, tempat Delfian bekerja. Delfian merupakan slaah satu orang yang penting dengan jabatan tinggi walaupun masih muda, jadi untuk mendapatkan fasilitas seperti ini bukanlah hal yang sulit baginya. Sedangkan Cakra, selain Delfian yang bekerja di Integerity, pamannya juga merupakan salah satu pemilik saham perusahaan di bidang ekspor-impor ini.
Kolam renang besar ini terletak di lantai paling atas gedung 18 lantai dengan atap kerucut yang begitu unik sebagai atapnya. Kolam renang yang khusus didirikan bagi petinggi-petinggi Integerity atau terkadang dipakai tempat latihan perenang tim nasional Indonesia. Dengan fasilitas yang cukup lengkap : ruang ganti baju yang benar-benar qualified, papan loncat, tempat santai di pinggir kolam, dan jika ingin kudapan-kudapan atau bahkan makanan berat setelah berenang, tinggal telepon atau turun satu lantai ke International Integerity Private Restaurant.
Klek! Kunci pintu kamar mandi dibuka. Cakra keluar dengan handuk yang melingkar dipinggangnya. Ia mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil berkali-kali sambil berjalan menuju arah Delfian yang kini sedang mencari baju ganti di lokernya.
"Mana sih baju gue?" tanya Delfian yang mulai jengkel dengan baju yang sedari tadi tidak ia temukan.
"Sabar pak, makanya cari pake perasaan. Hahaha." kata Cakra menanggapi.
"Halah, sok bijak lo!" Delfian kembali berkutat dengan lokernya, "nah, ini dia!"
"Tuh kan, saya sih bukan sok bijak." Cakra tak mau kalah.
Berenang di kolam renang eksklusif ini merupakan rutinitas Delfian dan Cakra setiap dua minggu sekali dan hanya boleh dihadiri oleh mereka berdua saja. Mereka menyebutnya Male's time. Selain untuk berolah raga, datang ke tempat ini juga untuk membicarakan guy's problem yang memang benar-benar hanya boleh diketahui oleh laki-laki saja.
Sambil memakai kaos hijau toska bergambar Simpsons-nya, Cakra teringat sesuatu yang harus ia tanyakan pada Delfian sekarang juga.
"Yan?" panggil Cakra.
"Hmm." jawab Delfian sederhana sambil tetap memasukan handuknya ke dalam tas olah raga.
"Lo ada apa-apa ya sama Widy?" tanya Cakra langsung tanpa basa-basi.
"Hah?"
"Iya. Gue penasaran aja, abis kemarin pas lo ngambek Widy yang menghibur lo. Bisa bawa lo turun lagi!"
Delfian menutup tas olah raganya dan langsung menatap Cakra tepat di matanya.
"Kalau memang bisa ada apa-apa, gue malah seneng Kra." jawab Delfian singkat lalu segera berjalan meninggalkan ruang ganti baju.
"Hey! Jangan pergi dulu donk!" Cakra pun cepat-cepat membereskan peralatannya dan mengejar Delfian, "jadi maksud lo, lo suka sama dia?"
"Hmmm, pikir sendiri bocah."
"Oke, gue anggap hal itu sebagai 'iya'." Cakra tersenyum lebaar sekali, senang dengan adanya hal ini.
Cakra tak pernah menyangka bahwa hal seperti ini akan terjadi juga--walaupun gerak-gerik Delfian sudah menunjukan bahwa ia suka dengan Widy sejak dulu. Memang mereka telah dewasa. Masih tersimpan betul di otak Cakra pertama kali mereka semua bertemu di rumah Tara bertahun-tahun yang lalu. Dan sekarang, sudah ada yang suka-sukaan.
Cakra tak pernah mengerti mengapa dari sahabat tak boleh jadi pacar. Maksudnya, banyak orang yang bilang seperti itu padanya. Ya, mungkin memang canggung, tapi bukankah sahabat itu lebih mengerti tentang kita jadi kalau pacaran nanti tidak ada yang ditutup-tutupi. Itu menurutnya.
Masih dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya, Cakra berjalan menuju Audi A6-nya, memasukan barang-barangnya ke kursi belakang, dan bersandar di mobilnya dan melihat Delfian yang juga sedang membereskan barangnya.
"Kayaknya Subaru keren ya? Subaru Forester kan?" tanya Cakra yang sangat cinta dengan bidang otomotif.
Delfian menengok sedikit, "Yup. Parah lo, Kra. Udah punya Audi juga udah keren banget kali! Audi A6 lagi!" Delfian menggeleng-gelengkan kepalanya melihat temannya yang suka ganti-ganti mobil ini. Papa Cakra memang seorang pengusaha otomotif besar terutama mobil dan khususnya mobil-mobil yang jarang ada di Indonesia. Baru tahun lalu kunci Volkswagen Passat di tangannya lallu sekarang Audi A6 Quattro yang harganya hampir 1 milyar itu sudah menemaninya selama kurang lebih 2 tahun.
"Yee gue cuma nanya kali. Gue gak sampe segitunya suka sama mobil. Gue gak tahu tuh bokap gue lagi kesambet apa mau beliin gue ini. Padahal waktu itu gue cuma iming-imingi IP gue yang lagi 3,7 dan satu proyeknya yang sukses di tangan gue. Terus besoknya, dia bener-bener cariin. Mantap banget waktu itu!" cerita Cakra sambil tertawa mengingat hal itu. Audi A6 Quattro memang akan menemaninya dalam waktu yang cukup lama.
"Iyalah mantap! Satu Audi lo itu bisa dituker sama tiga Forester, Kra!"
"Udah lah, belum Audi A8. Hahahahaha! Bercanda gue."
"Dasar lo! Eh, gue balik duluan ya. Lo sama cewek-cewek mau ngumpul dimana?"
"Emm, antara Fizcoff atau Warung Bebek Pak Hamid. Nanti gue sms deh."
"Oke, nanti gue nyusul. Balik, ya!"
"Sip."
Delfian masuk ke dalam mobilnya dan langsung tancap gas meninggalkan lapangan parkir Integerity Corporation.
Lapangan Parkir Blossom Bookstore, 12.44
"Beny!" teriak Widy yang sedang mengejar Beny--bersama Tara dan Airis--yang berjalan cukup cepat, menghindari tiga cewek yang dari tadi mengikutinya terus.
Beny berhenti, "Kalian pada ngapain, sih?" tanyanya dengan tatapan sangat terganggu. Dengan sekantong buku-buku di tangannya, ia menunggu jawaban dari tiga cewek yang sedari pagi mengikutinya terus.
Hari ini memang Widy, Tara, dan Airis sudah merencanakan untuk "pendekatan" dengan Beny. Mereka tahu, Beny sendiri juga akan bingung dengan apa yang mereka lakukan. Baru saja bertemu satu kali, lalu langsung ingin dijadikan sahabat. Apa nggak aneh? Tapi Widy, Tara, dan Airis entah mengapa yakin bahwa Beny adalah orang yang cocok jadi sahabat.
"Emm gini Ben, jangan marah dulu," jawab Tara, "kita cuma pengen ngajakin lo jalan kok. Ke FIzcoff gitu.. Tapi terserah lo, sih."
"Jadi dari tadi lo bertiga ngintilin gue buat ngomong gituan?"
"He eh." jawab Airis.
"Kenapa harus nunggu sampai siang?"
"Habis muka lo serem banget sih Ben, jadi kita takut ngomongnya." jwab Widy sambil cengengesan.
Beny tak menjawab. Ia memalingkan mukanya ke arah lain, nampak sedang menimbang-nimbang tawaran mereka. Setelah berfikir beberapa detik, Beny kembali menatap ketiga cewek yang saat ini sdang memasang wajah penuh harap. Beny mengangguk kecil sambil tersenyum penuh arti. Lonjakan senang langsung terlihat di wajah Tara, Widy dan Airis. Mereka bertiga tersenyum sangat lebar, merasa puas dengan usaha mereka yang berhasil.
"Kemana?" tanya Beny.
"Emm, Fizcoff aja deh. Lebih adem!" kata Airis memberikan usul.
"Bener tuh Ris. Ya udah, Fizcoff Ben!" kata Tara semangat.
Beny kembali mengangguk, "Nanti gue nyusul." tanpa bayak basa-basi lagi, Beny langsung meninggalkan "trio"nya dan berjalan menuju Bajaj Pulsar 220 DTS-Fi warna birunya dan pergi meninggalkan toko buku kesukaannya itu.
Tak lama melihat Beny pergi, Tara, Widy, dan Airis juga langsung naik mobil Airis menuju Fizcoff. Ini akan jadi hari yang sangat berbeda.
Fizcoff, 13.12
Fizcoff siang ini sangat ramai sekali. Selain karena sekarang jam-jam makan siang, mungkin karena Fizcoff sedang mengadakan banyak sekali promosi. Fizcoff yang memang sudah berdiri sejak lama ini butuh ide-ide baru dan berbagai macam promosi supaya namanya tidak tenggelam diantara coffeshop lain yang semakin hari semakin bejubel. Walaupun untuk Cakra, Widy, Tara, Delfian, dan Airis, tetap Fizcoff tempat ngopi yang paling enak.
Airis, Tara, dan Widy sudah duduk dari seperempat jam yang lalu di salah satu sudut Fizcoff yang paling jadi favorit. Di depan mereka masih ada tiga bangku kosong yang belum diisi, tentu saja untuk Delfian, Cakra, dan Beny. DI atas meja sudah tersedia 3 buah seafood platter, 3 porsi french fries, 2 gelas ice espresso (untuk Delfian dan Cakra), 2 gelas Ice Latte (untuk Tara dan Widy), dan 1 gelas Caramel Chocolate Blended untuk Airis. Sedangkan untuk Beny, mereka tak tahu harus memesan apa.
Tak lama waktu berselang setelah makanan datang, Delfian masuk ke dalam Fizcoff, melihat-lihat sebentar lalu mendatangi meja yang ia yakin itu tempatnya. Setelah itu Cakra datang dengan sedikit terengah-engah dan mengucapkan ribuan kali maaf untuk keterlambatannya ini. Cakra adalah seseorang yang menjunjung tinggi nilai on-time. Mereka lima pun berbicang sebentar sambil menunggu Beny.
"Eh, gak kerasa ya lusa tuh udah libur. Tiga bulan lagi!" kata Cakra mengingatkan libur panjang yang ia tunggu-tunggu.
"Oh, kalian lusa tuh libur." Delfian mengangguk-angguk.
"Yup. Eh, itu dia Beny dateng!" kata Airis yang melihat sesosok tinggi dengan kemeja biru muda masuk ke dalam Fizcoff.
Beny juga melihat Airis yang saat itu heboh sekali, tanpa ekspresi apa-apa ia mendatangi meja yang sudah dihuni 5 orang tersebut.
"Hei Ben! Duduk-duduk," kata Widy mempersilahkan Beny duduk.
Melihat ada seorang baru yang duduk, seorang pelayan yang nampaknya cukup tanggap dengan kedatangan tamu langsung mendatangi meja dan bertanya pesanan Beny.
"Hot Latte." kata Beny singkat lalu tersenyum kepada mbak-mbak penjaga Fizcoff. Pelayan itu pun pergi.
"Ben, lusa libur pergi kemana?" tanya Cakra membuka pembicaraan.
"Gak kemana-mana." jawab Beny.
"Oohh,"
Delfian hanya diam melihat kedatangan si Beny-beny ini, ia lebih banyak menunduk ke bawah, pura-pura sibuk dengan iPhone-nya sambil sesekali melihat sosok Beny yang kini duduk persis tepat di depannya. Tinggi, rambut cepak, kulit sawo matang, kemeja, jeans, dan tas selempang army yang terlihat belel. Tipe-tipe mahasiswa biasa. Walaupun Delfian juga mengakui, kalau yang namanya Beny ini memang manis banget buat seorang cowok. Meski wajahnya manis, tapi ia nampak cowok banget.
"Emm, oke gue tanya langsung. Maksud kalian semua apa sih? Tiba-tiba manggil gue ke sini?"
"Gak kenapa-kenapa kok, Ben. Kita cuma pengen kenal lo gitu."
"Iya, tapi apa konteksnya. Oke, gue tolongin Widy kemaren pas dia mau ketabrak. Gue ga ngerti lo ngapain."
"Cuma pengen sahabatan aja. Ingin lo ikut jalan bareng-bareng kita, seperti biasa."
"Ya thanks deh kalo gitu." jawab Beny yang tak tahu lagi harus bicara apa.
Drrrr.. drrrr... handphone yang masih di silence bergetar.
"Halo? Kenapa Pa?"
....
"Hah? Ngapain ke sana?"
....
"Ooh, oke. Nanti malem aja bicarain. Iyaaa.."
Klik, telpon ditutup.
"Om Ando ya Yan?" tanya Widy.
"Iya Wid, Papaku bilang dia mau ke Cina minggu ini. Ada tugas." jelas Delfian.
"Eh, gimana kalau liburan ini kita ke Cina aja!" tiba-tiba cakra berteriak dengan idenya yang langsung melintas di otak, "ya kan, Ben?"
"Hah?" Beny menatap Cakra dengan bingung.
to be continued
next chapter two.
:D
Pikiran Widy kini melayang kemana-mana tentang apa yang terjadi dengan Delfian. Tapi ia langsung mengembalikan pikirannya dan tersenyum sedikit.
"Udah yan, udah selese kan?" Widy bangkit dari duduknya, "kita turun yuk."
Delfian mengangguk lalu ikut berdiri juga dan berjalan turun bersama Widy.
Minggu, kolam renang Integerity Corporation
Matahari sangat terik menyinari kota Jakarta siang ini. Cakra dan Delfian sedang menghabiskan akhir pekan di kolam renang pribadi Integerity Corporation, tempat Delfian bekerja. Delfian merupakan slaah satu orang yang penting dengan jabatan tinggi walaupun masih muda, jadi untuk mendapatkan fasilitas seperti ini bukanlah hal yang sulit baginya. Sedangkan Cakra, selain Delfian yang bekerja di Integerity, pamannya juga merupakan salah satu pemilik saham perusahaan di bidang ekspor-impor ini.
Kolam renang besar ini terletak di lantai paling atas gedung 18 lantai dengan atap kerucut yang begitu unik sebagai atapnya. Kolam renang yang khusus didirikan bagi petinggi-petinggi Integerity atau terkadang dipakai tempat latihan perenang tim nasional Indonesia. Dengan fasilitas yang cukup lengkap : ruang ganti baju yang benar-benar qualified, papan loncat, tempat santai di pinggir kolam, dan jika ingin kudapan-kudapan atau bahkan makanan berat setelah berenang, tinggal telepon atau turun satu lantai ke International Integerity Private Restaurant.
Klek! Kunci pintu kamar mandi dibuka. Cakra keluar dengan handuk yang melingkar dipinggangnya. Ia mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil berkali-kali sambil berjalan menuju arah Delfian yang kini sedang mencari baju ganti di lokernya.
"Mana sih baju gue?" tanya Delfian yang mulai jengkel dengan baju yang sedari tadi tidak ia temukan.
"Sabar pak, makanya cari pake perasaan. Hahaha." kata Cakra menanggapi.
"Halah, sok bijak lo!" Delfian kembali berkutat dengan lokernya, "nah, ini dia!"
"Tuh kan, saya sih bukan sok bijak." Cakra tak mau kalah.
Berenang di kolam renang eksklusif ini merupakan rutinitas Delfian dan Cakra setiap dua minggu sekali dan hanya boleh dihadiri oleh mereka berdua saja. Mereka menyebutnya Male's time. Selain untuk berolah raga, datang ke tempat ini juga untuk membicarakan guy's problem yang memang benar-benar hanya boleh diketahui oleh laki-laki saja.
Sambil memakai kaos hijau toska bergambar Simpsons-nya, Cakra teringat sesuatu yang harus ia tanyakan pada Delfian sekarang juga.
"Yan?" panggil Cakra.
"Hmm." jawab Delfian sederhana sambil tetap memasukan handuknya ke dalam tas olah raga.
"Lo ada apa-apa ya sama Widy?" tanya Cakra langsung tanpa basa-basi.
"Hah?"
"Iya. Gue penasaran aja, abis kemarin pas lo ngambek Widy yang menghibur lo. Bisa bawa lo turun lagi!"
Delfian menutup tas olah raganya dan langsung menatap Cakra tepat di matanya.
"Kalau memang bisa ada apa-apa, gue malah seneng Kra." jawab Delfian singkat lalu segera berjalan meninggalkan ruang ganti baju.
"Hey! Jangan pergi dulu donk!" Cakra pun cepat-cepat membereskan peralatannya dan mengejar Delfian, "jadi maksud lo, lo suka sama dia?"
"Hmmm, pikir sendiri bocah."
"Oke, gue anggap hal itu sebagai 'iya'." Cakra tersenyum lebaar sekali, senang dengan adanya hal ini.
Cakra tak pernah menyangka bahwa hal seperti ini akan terjadi juga--walaupun gerak-gerik Delfian sudah menunjukan bahwa ia suka dengan Widy sejak dulu. Memang mereka telah dewasa. Masih tersimpan betul di otak Cakra pertama kali mereka semua bertemu di rumah Tara bertahun-tahun yang lalu. Dan sekarang, sudah ada yang suka-sukaan.
Cakra tak pernah mengerti mengapa dari sahabat tak boleh jadi pacar. Maksudnya, banyak orang yang bilang seperti itu padanya. Ya, mungkin memang canggung, tapi bukankah sahabat itu lebih mengerti tentang kita jadi kalau pacaran nanti tidak ada yang ditutup-tutupi. Itu menurutnya.
Masih dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya, Cakra berjalan menuju Audi A6-nya, memasukan barang-barangnya ke kursi belakang, dan bersandar di mobilnya dan melihat Delfian yang juga sedang membereskan barangnya.
"Kayaknya Subaru keren ya? Subaru Forester kan?" tanya Cakra yang sangat cinta dengan bidang otomotif.
Delfian menengok sedikit, "Yup. Parah lo, Kra. Udah punya Audi juga udah keren banget kali! Audi A6 lagi!" Delfian menggeleng-gelengkan kepalanya melihat temannya yang suka ganti-ganti mobil ini. Papa Cakra memang seorang pengusaha otomotif besar terutama mobil dan khususnya mobil-mobil yang jarang ada di Indonesia. Baru tahun lalu kunci Volkswagen Passat di tangannya lallu sekarang Audi A6 Quattro yang harganya hampir 1 milyar itu sudah menemaninya selama kurang lebih 2 tahun.
"Yee gue cuma nanya kali. Gue gak sampe segitunya suka sama mobil. Gue gak tahu tuh bokap gue lagi kesambet apa mau beliin gue ini. Padahal waktu itu gue cuma iming-imingi IP gue yang lagi 3,7 dan satu proyeknya yang sukses di tangan gue. Terus besoknya, dia bener-bener cariin. Mantap banget waktu itu!" cerita Cakra sambil tertawa mengingat hal itu. Audi A6 Quattro memang akan menemaninya dalam waktu yang cukup lama.
"Iyalah mantap! Satu Audi lo itu bisa dituker sama tiga Forester, Kra!"
"Udah lah, belum Audi A8. Hahahahaha! Bercanda gue."
"Dasar lo! Eh, gue balik duluan ya. Lo sama cewek-cewek mau ngumpul dimana?"
"Emm, antara Fizcoff atau Warung Bebek Pak Hamid. Nanti gue sms deh."
"Oke, nanti gue nyusul. Balik, ya!"
"Sip."
Delfian masuk ke dalam mobilnya dan langsung tancap gas meninggalkan lapangan parkir Integerity Corporation.
Lapangan Parkir Blossom Bookstore, 12.44
"Beny!" teriak Widy yang sedang mengejar Beny--bersama Tara dan Airis--yang berjalan cukup cepat, menghindari tiga cewek yang dari tadi mengikutinya terus.
Beny berhenti, "Kalian pada ngapain, sih?" tanyanya dengan tatapan sangat terganggu. Dengan sekantong buku-buku di tangannya, ia menunggu jawaban dari tiga cewek yang sedari pagi mengikutinya terus.
Hari ini memang Widy, Tara, dan Airis sudah merencanakan untuk "pendekatan" dengan Beny. Mereka tahu, Beny sendiri juga akan bingung dengan apa yang mereka lakukan. Baru saja bertemu satu kali, lalu langsung ingin dijadikan sahabat. Apa nggak aneh? Tapi Widy, Tara, dan Airis entah mengapa yakin bahwa Beny adalah orang yang cocok jadi sahabat.
"Emm gini Ben, jangan marah dulu," jawab Tara, "kita cuma pengen ngajakin lo jalan kok. Ke FIzcoff gitu.. Tapi terserah lo, sih."
"Jadi dari tadi lo bertiga ngintilin gue buat ngomong gituan?"
"He eh." jawab Airis.
"Kenapa harus nunggu sampai siang?"
"Habis muka lo serem banget sih Ben, jadi kita takut ngomongnya." jwab Widy sambil cengengesan.
Beny tak menjawab. Ia memalingkan mukanya ke arah lain, nampak sedang menimbang-nimbang tawaran mereka. Setelah berfikir beberapa detik, Beny kembali menatap ketiga cewek yang saat ini sdang memasang wajah penuh harap. Beny mengangguk kecil sambil tersenyum penuh arti. Lonjakan senang langsung terlihat di wajah Tara, Widy dan Airis. Mereka bertiga tersenyum sangat lebar, merasa puas dengan usaha mereka yang berhasil.
"Kemana?" tanya Beny.
"Emm, Fizcoff aja deh. Lebih adem!" kata Airis memberikan usul.
"Bener tuh Ris. Ya udah, Fizcoff Ben!" kata Tara semangat.
Beny kembali mengangguk, "Nanti gue nyusul." tanpa bayak basa-basi lagi, Beny langsung meninggalkan "trio"nya dan berjalan menuju Bajaj Pulsar 220 DTS-Fi warna birunya dan pergi meninggalkan toko buku kesukaannya itu.
Tak lama melihat Beny pergi, Tara, Widy, dan Airis juga langsung naik mobil Airis menuju Fizcoff. Ini akan jadi hari yang sangat berbeda.
Fizcoff, 13.12
Fizcoff siang ini sangat ramai sekali. Selain karena sekarang jam-jam makan siang, mungkin karena Fizcoff sedang mengadakan banyak sekali promosi. Fizcoff yang memang sudah berdiri sejak lama ini butuh ide-ide baru dan berbagai macam promosi supaya namanya tidak tenggelam diantara coffeshop lain yang semakin hari semakin bejubel. Walaupun untuk Cakra, Widy, Tara, Delfian, dan Airis, tetap Fizcoff tempat ngopi yang paling enak.
Airis, Tara, dan Widy sudah duduk dari seperempat jam yang lalu di salah satu sudut Fizcoff yang paling jadi favorit. Di depan mereka masih ada tiga bangku kosong yang belum diisi, tentu saja untuk Delfian, Cakra, dan Beny. DI atas meja sudah tersedia 3 buah seafood platter, 3 porsi french fries, 2 gelas ice espresso (untuk Delfian dan Cakra), 2 gelas Ice Latte (untuk Tara dan Widy), dan 1 gelas Caramel Chocolate Blended untuk Airis. Sedangkan untuk Beny, mereka tak tahu harus memesan apa.
Tak lama waktu berselang setelah makanan datang, Delfian masuk ke dalam Fizcoff, melihat-lihat sebentar lalu mendatangi meja yang ia yakin itu tempatnya. Setelah itu Cakra datang dengan sedikit terengah-engah dan mengucapkan ribuan kali maaf untuk keterlambatannya ini. Cakra adalah seseorang yang menjunjung tinggi nilai on-time. Mereka lima pun berbicang sebentar sambil menunggu Beny.
"Eh, gak kerasa ya lusa tuh udah libur. Tiga bulan lagi!" kata Cakra mengingatkan libur panjang yang ia tunggu-tunggu.
"Oh, kalian lusa tuh libur." Delfian mengangguk-angguk.
"Yup. Eh, itu dia Beny dateng!" kata Airis yang melihat sesosok tinggi dengan kemeja biru muda masuk ke dalam Fizcoff.
Beny juga melihat Airis yang saat itu heboh sekali, tanpa ekspresi apa-apa ia mendatangi meja yang sudah dihuni 5 orang tersebut.
"Hei Ben! Duduk-duduk," kata Widy mempersilahkan Beny duduk.
Melihat ada seorang baru yang duduk, seorang pelayan yang nampaknya cukup tanggap dengan kedatangan tamu langsung mendatangi meja dan bertanya pesanan Beny.
"Hot Latte." kata Beny singkat lalu tersenyum kepada mbak-mbak penjaga Fizcoff. Pelayan itu pun pergi.
"Ben, lusa libur pergi kemana?" tanya Cakra membuka pembicaraan.
"Gak kemana-mana." jawab Beny.
"Oohh,"
Delfian hanya diam melihat kedatangan si Beny-beny ini, ia lebih banyak menunduk ke bawah, pura-pura sibuk dengan iPhone-nya sambil sesekali melihat sosok Beny yang kini duduk persis tepat di depannya. Tinggi, rambut cepak, kulit sawo matang, kemeja, jeans, dan tas selempang army yang terlihat belel. Tipe-tipe mahasiswa biasa. Walaupun Delfian juga mengakui, kalau yang namanya Beny ini memang manis banget buat seorang cowok. Meski wajahnya manis, tapi ia nampak cowok banget.
"Emm, oke gue tanya langsung. Maksud kalian semua apa sih? Tiba-tiba manggil gue ke sini?"
"Gak kenapa-kenapa kok, Ben. Kita cuma pengen kenal lo gitu."
"Iya, tapi apa konteksnya. Oke, gue tolongin Widy kemaren pas dia mau ketabrak. Gue ga ngerti lo ngapain."
"Cuma pengen sahabatan aja. Ingin lo ikut jalan bareng-bareng kita, seperti biasa."
"Ya thanks deh kalo gitu." jawab Beny yang tak tahu lagi harus bicara apa.
Drrrr.. drrrr... handphone yang masih di silence bergetar.
"Halo? Kenapa Pa?"
....
"Hah? Ngapain ke sana?"
....
"Ooh, oke. Nanti malem aja bicarain. Iyaaa.."
Klik, telpon ditutup.
"Om Ando ya Yan?" tanya Widy.
"Iya Wid, Papaku bilang dia mau ke Cina minggu ini. Ada tugas." jelas Delfian.
"Eh, gimana kalau liburan ini kita ke Cina aja!" tiba-tiba cakra berteriak dengan idenya yang langsung melintas di otak, "ya kan, Ben?"
"Hah?" Beny menatap Cakra dengan bingung.
to be continued
next chapter two.
:D
Kamis, 06 Agustus 2009
Garlic Bread Series Chapter IB
"Woi!" kata seorang laki-laki seumuran mereka dengan tas selempang coklat army yang ia pegang. Laki-laki itu langsung berlari kearah Widy dan menyelamatkan Widy yang masih terdiam. Cowok itu mendorong widy sertadirinya sendiri ke seberang jalan dan Widy, masih ada dipelukkannya.
"Gak pa-pa kan?" tanya cowok itu sambil melepaskan pelukkannya yang cukup keras.
Widy diam. Ia masih shock dengan kejadian tadi. Untung saja, cowok ini--yang ia tak tahu asalnya dari mana--menyelamatkannya.
"Hei, lo gak pa-pa kan?" tanya cowok itu lagi. Kali ini sambil berdiri dan membersihkan celananya yang kotor karena serpihan batu.
"Gak pa-pa. Agak terkilir sedikit lah." kata Widy sambil mendongak, melihat langsung ke arah cowok itu yang telah berdiri. Posturnya tinggi dan cukup proposional. Nampaknya anak kampus UPI juga. Kemejanya yang putih memang menjadi agak kotor plus celana jeansnya yang hitam. Ia masih berusaha membersihkan sambil dilihat oleh Widy yang sadar bahwa ia juga cukup kotor.
"Hei," cowok itu menawarkan pertolongan untuk berdiri dengan tangannya yang panjang, "mau berdiri gak?"
Widy menyambut tangan cowok itu dengan senyuman. Ia juga berdiri membersihkan celana skinny-nya.
"Thanks, ya." kata Widy.
"Sama-sama. Makanya kalau jalan jangan melongo." kata cowok itu dingin.
"Widy." Widy tersenyum, mengajak cowok dingin ini kenalan.
"Beny." Beny menjabat tangan Widy dengan sedikit ogah-ogahan--nampak sangat terganggu, "temanmu datang tuh"
Widy mengalihkan pandangannya ke arah depan, ke arah warung tadi tempat nongkrong. Sahabat-sahabatnya berlari agak terseok-seok karena kerepotan dengan barang bawaan mereka. Cakra, Tara, dan Airis menyebrang jalan sambil memanggil-manggil nama Widy. Widy tersenyum.
"Wid! Lo gak pa-pa kan?" tanya Tara langsung ketika sampai di seberang jalan.
"Gak kok, ga pa-pa." kata Widy menenangkan mereka. Kondisi jalan tiba-tiba jadi ramai kembali jadi mereka harus berbicara sambil agak teriak.
"Fiuh, syukurlah!" kata Cakra mengelus dadanya, "By the way, thanks ya, siapa nama lo?"
"Beny." jawab beny singkat.
"Oh ya, thanks ya Ben!"
Beny tersenyum sedikit lalu langsung meninggalkan kukmpulan sahabat itu. Ia membetulkan posisi tas selempangnya dan berjalan agak cepat memasuki area kampus. Cakra, Tara, Airis, dan Widy saling bertatapan satu sama lain, kebingungan dengan perilaku Beny yang sangat penyendiri. Dan mereka semua memilih untuk meninggalkan tempat itu, pergi ke coffe shop dekat kantor Delfian.
Fizcoff, 13:48
"Entar malem ngumpul ya di rumah gue! Delfian gak bisa dateng ke sini sekarang, meeting." kata Cakra membuka pembicaraan di siang hari yang cukup panas itu. Untunglah mereka semua sudah berada di dalam Fizcoff, sebuah coffee shop tua dengan interiornya yang bikin adem mata--serba putih. Walaupun dindingnya kaca semua dan masih bisa melihat kegaduhan di depan Fizcoff yang notabene berada di kawasan perkantoran.
"Sip deh! Eh, lo kok diem aja sih Wid? Masih shock?" tanya Airis sudah siap dengan berbagai kudapan lezat di depannya.
"Nggak kok! Gue cuma kepikiran," Widy meneguk Ice Tea-nya, "untuk masukin Beny ke persahabatan ini."
"Beny? Yang tadi nyelametin lo ya?" tanya Tara.
"He eh."
"Well, gue rasa itu bukan ide yang teralu bagus Wid." kata Cakra mengemukakan pendapatnya, "Beny baru aja kita kenal, dan kita langsung mau masukin dia ke lingkup persahabatan kita yang udah dimulai sejak kecil." Persahabatan antara Widy, Delfian, Cakra, Tara, dan Airis memang tidak menutup diri dalam lngkup itu saja. Dan mereka berkomitmen bahwa persahabatan ini tak boleh mengganggu aktifitas yang lain di luar lingkup.
"Kenapa nggak, Cak? He is a good guy I guess." kata Widi masih bersikeras dengan idenya.
"Guessing?" Cakra mencomot wipped cream dari banana split Tara.
"Menurut gue gak pa-pa kok. Yah, kalau buat masalah tinggal keluarin aja, kan?" kata Tara santai, cukup setuju dengan pendapat Widy.
"Buat gue juga gak masalah. Beny harus dapat reward lagi karena udah nyelametin kembang desa kayak Widy. Lagian pribadinya bikin penasaran!" kata Airis yang juga setuju.
"Ya udah okelah! gue ikut aja. tapi kalian harus dapet persetujuan dulu dari Delfian. baru gue seratus persen setuju."
"Oke!"
Rumah Cakra. 19:40
"Hah! Kalian gila atau gimana, sih?" tanya Delfian yang sedang menuangkan sirup untuk dirinya sendiri.
"Tapi Yan, apa salahnya sih dicoba?!" kata Widy yang sudah siap dengan seribu jawaban untuk Delfian. Ia tahu Delfian akan sulit setuju dengan hal ini.
"Dia baru aja kita kenal! Gue tahu si Beny-beny itu nyelametin Widy, tapi nanti setiap yang nyelametin salah satu dari ita harus masuk ke lingkup ini gitu?" kata Delfian masih berargumentasi.
"Gak gitu, Yan. Gampang aja kali, kalau misalnya dia buat masalah yah tinggal di keluarin aja, kan?" kata tara meyakinkan tapi dengan tenang.
"Terserah lo!" Delfian menaruh gelas sirupnya dan berlari menaikki tangga ke arah loteng rumah Cakra. Untuk sendirian.
Delfian tak pernah mengerti mengapa orang-orang itu begitu bersikeras memasukan Beny ke perkumpulan mereka. Sebegitu tak berartinyakah komposisi dari perkumpulan ini bagi mereka? Beny itu berbeda! Bukan seseorang yang ada sejak kecil sampai kini dewasa. Lalu saat mereka dewasa, dengan mudahnya memasukan Beny yang baru saja mereka kenal--bahkan cuma Widy yang berkenalan!
Delfian melihat ke atas--ke arah bulan yang malam ini terlihat begitu coklat. Dan ya, terserah mereka. Ia sudah tak perduli lagi.
"Delfian?" panggil Widy dari pintu masuk loteng lalu segeramendekati Delfian.
"Wid." kata Delfian.
"Gak pa-pa kan? Ayolah coba aja, gak ada salahnya kan?" kata widy masih meyakinkan Delfian.
"Kamu gak ngerti, Wid."
"Gue ngerti! anggap aja ini sebagai permintaan Widy. Oke?" tanya widy lagi.
"Ya, oke," Delfian berbalik arah menghadap Widy dan mengelus kepalanya, " tapi kamu harus janji untuk tidak melakukan hal bodoh kayak tadi siang lagi. oke?" kata Delfian sangat lembut dan langsung menatap Widy di matanya.
Widy kaget dengan perilaku Delfian ini.
"Oke." Widy menjawab perlahan. Delfian pun tersneyum dan kini mengelus pipinya.
Delfian kenapa, sih?
to be continued.
:D
Sabtu, 25 Juli 2009
Garlic Bread Series (GBS). Chapter IA
Rumah Tara. 13 Desember 1995.
Duaaar..! Suara air yang jatuh ke tanah terdengar semakin keras karena hujan bertambah deras. Suara itu berdampingan memasuki bumi dengan petir yang menyambar walau hanya sekali-kali saja. Beberapa orang berlarian menghindari hujan sambil menutupi kepalanya dengan apa saja yang mereka bawa. Rumah Tara yang memang terletak di kawasan perkantoran itu makin ramai karena para karyawan kantor yang segera menyelamatkan dirinya dari kebasahan akibat hujan setelah makan siang.
Suasana yang sama sekali tidak Tara harapkan untuk hari ini. Anak itu hampir menangis setelah mendengar perkataan mamanya bahwa hari ini bukan waktu yang bagus untuk merayakan pesta ulang tahun dan harus diundur. Di depannya sudah tertata rapi makanan-makanan bagi tamunya nanti--yang ia sendiri tak tahu siapa. Semuanya kudapan sederhana kecuali ssebuah kue blackforest berbentuk kotak yang cukup besar. Ditengahnya tertulis nama Tara, Cinta Tara Putrien, dengan selai ceri yang nampak menggoda. Dan dekat dengan tulisan itu, sudah terpasang lilin berwarna merah putih yang menunjukan angka 10.
Ya, ini memang hari ulangtahunnya yang kesepuluh--dan yang gagal. Mama sudah bersiap-siap membereskan semua makanan dengan wajah kecewa.
"Ini bukan salahmu, nak," Mama mengelus rambut Tara, "Waktunya saja tidak tepat."
Tara mengangguk lemas. Ini pesta ulangtahun pertamanya dan langsung gagal. Setiap tahun persiapan ulang tahun selalu terhenti ditengah-tengah karena Papa dan Mamanya sibuk, keduanya bekerja. Dan sekarang, selagi Mamanya bisa, malah keadaanya yang tak bisa.
"Taraaaa!" panggil seseorang dari luar rumahnya. Tara segera berlari membuka pintu rumah dan senyumnya langsung mengembang seketika. Saudaranya, Delfian, berdiri tegak sambil ditemani Ayahnya sambil tersenyum.
"Sori. Terlambat, ya?" tanya Delfian agak cemas. "Mobil gak bisa lewat di jalan depan situ, banjir!"
"Nggak kok! Ayo Kak, Om, masuk!" Tara mempersilahkan mereka masuk masih dengan wajah yang sumringah.
Delfian dan Tara sebenarnya saudara jauh tapi mereka bisa dibilang cukup dekat. Delfian, yang beberapa tahun lebih tua dari Tara merupakan anak tunggal. Jadi dari beberapa tahun sebelumnya, Delfian sudah berjanji menganggap Tara sebagai adiknya sendiri.
"Eh, Ando!" Mama Tara juga kaget dengan kedatangan ini.
"Hahaha, iya nih Cin, nemenin Delfian." kata Ando, papa Delfian sambil sedikit membersihkan kemeja putih yang agak kotor karena lumpur.
"Kalau gitu bentar ya, aku ambilin makanannya dulu!" mama Tara kembali masuk dapur lagi dengan tegresa-gesa dan minta pembantunya untuk menyiapkan minuman.
Tak lama, makanan itu telah kembali tersedia di meja makan dengan rapi plus minumnya. Mama Tara tersenyum, nampak puas dengan hasilnya.
Suasana yang sama sekali tidak Tara harapkan untuk hari ini. Anak itu hampir menangis setelah mendengar perkataan mamanya bahwa hari ini bukan waktu yang bagus untuk merayakan pesta ulang tahun dan harus diundur. Di depannya sudah tertata rapi makanan-makanan bagi tamunya nanti--yang ia sendiri tak tahu siapa. Semuanya kudapan sederhana kecuali ssebuah kue blackforest berbentuk kotak yang cukup besar. Ditengahnya tertulis nama Tara, Cinta Tara Putrien, dengan selai ceri yang nampak menggoda. Dan dekat dengan tulisan itu, sudah terpasang lilin berwarna merah putih yang menunjukan angka 10.
Ya, ini memang hari ulangtahunnya yang kesepuluh--dan yang gagal. Mama sudah bersiap-siap membereskan semua makanan dengan wajah kecewa.
"Ini bukan salahmu, nak," Mama mengelus rambut Tara, "Waktunya saja tidak tepat."
Tara mengangguk lemas. Ini pesta ulangtahun pertamanya dan langsung gagal. Setiap tahun persiapan ulang tahun selalu terhenti ditengah-tengah karena Papa dan Mamanya sibuk, keduanya bekerja. Dan sekarang, selagi Mamanya bisa, malah keadaanya yang tak bisa.
"Taraaaa!" panggil seseorang dari luar rumahnya. Tara segera berlari membuka pintu rumah dan senyumnya langsung mengembang seketika. Saudaranya, Delfian, berdiri tegak sambil ditemani Ayahnya sambil tersenyum.
"Sori. Terlambat, ya?" tanya Delfian agak cemas. "Mobil gak bisa lewat di jalan depan situ, banjir!"
"Nggak kok! Ayo Kak, Om, masuk!" Tara mempersilahkan mereka masuk masih dengan wajah yang sumringah.
Delfian dan Tara sebenarnya saudara jauh tapi mereka bisa dibilang cukup dekat. Delfian, yang beberapa tahun lebih tua dari Tara merupakan anak tunggal. Jadi dari beberapa tahun sebelumnya, Delfian sudah berjanji menganggap Tara sebagai adiknya sendiri.
"Eh, Ando!" Mama Tara juga kaget dengan kedatangan ini.
"Hahaha, iya nih Cin, nemenin Delfian." kata Ando, papa Delfian sambil sedikit membersihkan kemeja putih yang agak kotor karena lumpur.
"Kalau gitu bentar ya, aku ambilin makanannya dulu!" mama Tara kembali masuk dapur lagi dengan tegresa-gesa dan minta pembantunya untuk menyiapkan minuman.
Tak lama, makanan itu telah kembali tersedia di meja makan dengan rapi plus minumnya. Mama Tara tersenyum, nampak puas dengan hasilnya.
Ting-tong! Bel kembali berbunyi dan kini giliran mama Tara yang bergegas membukakan pintu.
"Hai Jeng!" panggil salah satu diantara mereka. Sekarang giliran teman-teman arisan mama tara yang datang sambil membawa anak-anaknya. Jumlah mereka ada 4 orang, plus anak-anaknya jadi 8 orang. Mama Tara menjadi lebih bersemangat lagi melihat cukup banyak orang yang datang ke acara perayaan ulang tahun anaknya. Dengan muka yang berbinar0binar, ia mempesilahkan keempat temannya masuk.
Tak berapa lama, acara ritual umum ulang tahun itu pun selesai dan kini mereka semua duduk di ruang tamu yang besar dengan TV yang besar juga untuk mengobrol-ngobrol.
"Hai jeng, belum kenal anak aku, kan?" tanya seorang ibu yang paling cantik diantara mereka bertiga. Disampingnya juga duduk anaknya yang cantik.
"Belum donk, jeng! Cantik, siapa nih namanya?" taya mama Tara.
"Ini Widy." kata ibu yang cantik itu, lalu Widy tersenyum.
"Kalau anak saya yang cowok ini namanya Cakra, Jeng." kata ibu yang satunya lebih bersemangat.
"Yang ini Airis." kata yang satunya lagi.
Lalu mereka semua tertawa.
"Eh, yang ini namanya siapa?" kata mama Cakra.
"Ini Delfian." kata Ando, papa Delfian.
"Waduh, semoga nanti anak-anak kita kalau udah gede saling bersahabat ya?"
Lalu mereka kembali saling tertawa. Dan anak-anak itu--Delfian, Tara, Widy, Cakra, dan Airis--memang sudah merasakan aura persahabatan itu sejak pertama kali bertemu.
Universitas Pendidikan Indonesia, 2009.
"Airis!" panggil Cakra dari kursinya. Ia melihat Airis sedang berjalan di depan universitas sambil planga-plongo sendiri. Jadi, Cakra mengajaknya bergabung dengan sahabat mereka yang lain, Tara dan Widy. Sebenarnya Delfian juga, tapi karena Delfian paling tua, sudah s1, dan sudah bekerja, jarang sekali ngumpul dengan mereka di seberang kampus itu.
Airis melihat ahabat-sahabatnya dan segera menyebrang jalan dengan hati-hati sekali karena Universitas mereka memang terletak di daerah sepi jadi banyak orang yang ngebut.
"Hai Ris, abis kelas apa?" tanya Tara membuka pembicaraan setelah Airis berhasil menyebrang.
"Gak tau, gak jelas! Biasalah Pak Buan yang ngajar." kata Airis sambil duduk.
"Pak Buan! Ah, barang gue ketinggalan di kelas nih! Gue balik dulu ya!" Widy segera meninggalkan kumpulan sahabatnya itu dan berlari menuju kampus--celakanya ia menyebrang seenaknya saking terburu-burunya.
"Wid! Awas!" Tara berteriak histeris melihat mobil Avanza hitam melaju dengan kecepatan tinggi ke arah Widy.
Teeeeeeett!!!
"Widy!"
to be continued.
:D
"Hai Jeng!" panggil salah satu diantara mereka. Sekarang giliran teman-teman arisan mama tara yang datang sambil membawa anak-anaknya. Jumlah mereka ada 4 orang, plus anak-anaknya jadi 8 orang. Mama Tara menjadi lebih bersemangat lagi melihat cukup banyak orang yang datang ke acara perayaan ulang tahun anaknya. Dengan muka yang berbinar0binar, ia mempesilahkan keempat temannya masuk.
Tak berapa lama, acara ritual umum ulang tahun itu pun selesai dan kini mereka semua duduk di ruang tamu yang besar dengan TV yang besar juga untuk mengobrol-ngobrol.
"Hai jeng, belum kenal anak aku, kan?" tanya seorang ibu yang paling cantik diantara mereka bertiga. Disampingnya juga duduk anaknya yang cantik.
"Belum donk, jeng! Cantik, siapa nih namanya?" taya mama Tara.
"Ini Widy." kata ibu yang cantik itu, lalu Widy tersenyum.
"Kalau anak saya yang cowok ini namanya Cakra, Jeng." kata ibu yang satunya lebih bersemangat.
"Yang ini Airis." kata yang satunya lagi.
Lalu mereka semua tertawa.
"Eh, yang ini namanya siapa?" kata mama Cakra.
"Ini Delfian." kata Ando, papa Delfian.
"Waduh, semoga nanti anak-anak kita kalau udah gede saling bersahabat ya?"
Lalu mereka kembali saling tertawa. Dan anak-anak itu--Delfian, Tara, Widy, Cakra, dan Airis--memang sudah merasakan aura persahabatan itu sejak pertama kali bertemu.
Universitas Pendidikan Indonesia, 2009.
"Airis!" panggil Cakra dari kursinya. Ia melihat Airis sedang berjalan di depan universitas sambil planga-plongo sendiri. Jadi, Cakra mengajaknya bergabung dengan sahabat mereka yang lain, Tara dan Widy. Sebenarnya Delfian juga, tapi karena Delfian paling tua, sudah s1, dan sudah bekerja, jarang sekali ngumpul dengan mereka di seberang kampus itu.
Airis melihat ahabat-sahabatnya dan segera menyebrang jalan dengan hati-hati sekali karena Universitas mereka memang terletak di daerah sepi jadi banyak orang yang ngebut.
"Hai Ris, abis kelas apa?" tanya Tara membuka pembicaraan setelah Airis berhasil menyebrang.
"Gak tau, gak jelas! Biasalah Pak Buan yang ngajar." kata Airis sambil duduk.
"Pak Buan! Ah, barang gue ketinggalan di kelas nih! Gue balik dulu ya!" Widy segera meninggalkan kumpulan sahabatnya itu dan berlari menuju kampus--celakanya ia menyebrang seenaknya saking terburu-burunya.
"Wid! Awas!" Tara berteriak histeris melihat mobil Avanza hitam melaju dengan kecepatan tinggi ke arah Widy.
Teeeeeeett!!!
"Widy!"
to be continued.
:D
Langganan:
Komentar (Atom)