Sabtu, 21 November 2009
Garlic Bread Series Chapter IIA
"Hah? Kenapa nanya gue?" kata Beny tampak kaget dengan perkataan Cakra yang tiba-tiba.
"Ya udah," Cakra tampak berpikir, "Bener kan? Ke Cina aja! Gimana?"
"Emangnya di Cina ada apa, Kra? Kok tba-tiba pengen kesana?" tanya Airis setelah meneguk kembali Caramel Chocolate Blendednya yang tinggal setengah.
"Hmm, ya ada Great Wall, Tian An Men Square, banyak lagi! Lagipula sekali-kali kita juga harus menjelajah Asia. I mean di luar Asia Tenggara. Biasanya kan kita cuma ke Amrik atau Eropa, kan?"
"Iya sih," Widy memutar matanya, melihat ke segela arah sambil memikirkan gagasan Cakra ini, "gue setuju sama Cakra." kata Widy sambil tersenyum.
Senyum Cakra mengembang sangat lebar. Ia tahu dan ia yakin, jika Widy sudah bersedia mengikuti gagasannya, maka Delfian juga. Brarti dua orang sudah menyetujui--walaupun yang satunya secara tidak langsung.
"Iya, Cina boleh. Gue ikut aja." kata Delfian singkat menanggapi perkataan Widy lalu kembali sibuk dengan e-mail lain dari relasi dan kliennya di Canberra.
Tuh kan! Cakra kembali tersenyum, ternyata ia memang benar.
"Eh, gimana yang lainnya? Tiga orang udah confirm nih!" tanya Cakra lagi untuk sekian kalinya.
"Cina, ya?" Tara mulai bicara sejak daritadi diam saja, "terdengar menarik sih, Kra. I'm in!" Tara tersenyum. Ia punya firasat yang cukup baik tentang perjalanan kali ini, sounds interesting.
"Ris?" kini giliran Widy yang bertanya untuk memastikan liburan ini.
"Hmm, kalau udah lebih dari lima puluh persen setuju gini emangnya masih bisa ngelak, ya? Hahaha, gue ikut kok." kata Airis sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa yang empuk--kebanggan Fizcoff. Ia selalu bahagia melihat suasana seperti ini. Ketika ide menyenangkan muncul dari pikiran salah satu dari mereka, dan dengan semangat dan antusias pula mereka membahasnya.
"Wow! Oke ya? Nanti malem gue langsung browsing sama Delfian cari tiket, akomodasi, sebagainya deh! Nanti kalian terima beres. Sekalian tanya Om Ando juga dia perginya gimana?" jelas Cakra bersemangat.
"Iya. Nanti malem langsung gue kabarin." kata Delfian ikut menjelaskan tapi masih memencet-mencet handphone-nya yang touch screen itu.
"Eh!! Tunggu dulu," kata Airis tiba-tiba.
"Apa Ris?" tanya Cakra dengan nada agak bingung sambil menaikan satu alisnya--kebiasaan.
"Beny?" Airis tersenyum 'licik'.
"Eh, iya Ben! Lo ikut kan?" tanya Widy dengan muka excited.
"Emang harus?" Beny mengerutkan keningnya.
"HARUS!" jawab Tara, Airis, Widy, dan Cakra bersamaan dengan keras sedangkan Delfian masih sibuk sendiri.
Subaru Forester Delfian, 15.22
"Why I live in despair?
Cause while awake or dreaming
I know she's never there
And all this time I act so brave
I'm shaking inside...
Why does it hurt me so?"
Heaven Knows - Rick Price
Mungkin lagu lama itu sudah Delfian ulang hingga ratusan kali dan ia memang tak pernah bosan. Lagu itu setidaknya harus adadi dalam mobil, handphone, dan iPod-nya. Ia rasa lagu itu cukup menggambarkan dirinya saat ini.Walaupun sebenarnya lagu Kahitna berjudul 'Andai Ia Tahu' lebih tepat menggambarkan situasinya, tapi ia merasakan hal lain dari lagu ini. Rick Price menyanyikannya dengan penuh perasaan sehingga bisa dibilang menyentuh.
Hujan deras masih turun di luar. Sebenarnya hari ini tidak macet, tapi karena hujannya begitu deras, jarak pandang Delfian berkurang cukup fatal jadi ia memutuskan untuk berjalan pelan-pelan saja demi keamanan. Dan mungkin untuk menambah waktu sendirinya. Subaru Foresternya merupakan salah satu tempat favorit Delfian untuk menyendiri selain loteng rumah Cakra. Kondisi hujan, ac dengan dingin yang pas, wangi jasmine yang samar-samar dari parfum mobil, dan lagu kesukaannya menciptakan suasana yang terlampau nyaman untuk merenung--salah satu hobi Delfian.
Widy. Nama yang menurutnya sederhana tapi indah itu terlintas lagi dipikirannya. Kalau mau jujur, sebenarnya tadi Delfian bukan siuk dengan e-mailnya, Memang sih ia juga harus membalas beberapa e-mail, tapi 15 menit terakhir, ia hanya pura-pura. Daripada mumet dengan pekerjaannya, ia lebih memilih memperhatikan Widy diam-diam. Oh ya, dia memang cukup pengecut untuk hal-hal seperti ini. Boleh saja ia adalah seorang pemimpin berkarisma tinggi bagi bawahan-bawahannya, tapi untuk berhadapan dengan cewek, Delfian mungkin lebih payah dari cowok normal lain.
Ia tidak tahu kapan rasa ini muncul, yang jelas tiba-tiba ada. bahkan Delfian tidak tahu bagaimana prosesnya, yang ia tahu, iadan Widy memang sudah bersahabat dari kecil. Dan dari SD, SMP, SMA, bahkan kuliah, semuanya biasa saja. Fiuh, ini memang melelahkan sekali baginya. Setelah lama berjalan dengan kecepatan lambat, akhirnya Delfian tancap gas melewati tirai hujan yang masih lebat belum berhenti juga.
Dan hal terakhir yang terlintas dipikirannya, ia hanya ingin Widy tahu. Tapi ia tidak tahu bagaimana caranya. Walaupun Widy mengetahui perasaannya pun bukan berarti hal yang baik. Delfian tidak berani berharap banyak dengan keinginannya ini, mungkin teralu sulit untuk dicapai. Yang jelas, ia masih butuh waktu untuk menyiapkan diri atas semua konsekuensi yang terjadi nantinya.
Rumah Cakra, 10.46
Tok tok tok! Pintu rumah Cakra yang terbuat dari kayu jati itu diketuk sehingga menimbulkan suara yang agak terpendam. Cakra berlari dari atas kamarnya untuk membukakan pintu karena hari ini di rumahnya tidak ada siapa-siapa. Papa dan Mama pergi ke Surabaya untuk merayakn pesta pernikahan saudara lalu Pak Kasim, supir sekaligus teman curhatnya kalau di rumah sedang pulang kampung karena anaknya sedang sakit.
"Hai Kra," suara pelan itu menyapanya ketika ia membuka pintu, tanpa harus melihat lagi wajah si tamu ia sudah tau siapa yang datang.
"Airis? Tumben malem banget?"
"Iya." jawab Airis lirih sambil tertunduk ke bawah.
"Ya udah, masuk-masuk! Diluar masih gerimis." Cakra mempersilahkan Airis masuk dan duduk di ruang tamu.
"Bentar ya, ambil minum dulu." Cakra segera berlari menuju dapur yang leatknya memang agak jauh dari ruang tamu. Airis tersenyum sambil mengangguk.
Suasana rumah Cakra masih sama. Rumah yang paling sering dijadikan tempat ngumpul ini masih menyuntikan suasana hangat pada setiap tamunya. Tata penerangannya yang pas memberikan sensasi dramatis yang berbeda dari tiap ruangan. Paling tidak diantar rumah mereka berlima, rumah Cakra yang paling nyaman. Lampunya masih sama, jamnya masih sama, karpetnya masih tetap halus, dan bunga-bunga asli disudut ruangan yang indah itu masih tetap segar.
"Teh aja gak pa-pa kan?" tanya Cakra membawa dua gelas teh, menaruhnya di meja, lalu duduk di sebelah Airis.
"Makasih."
"Oh ya, kenapa Ris malem-malem kesini?" tanya Cakra to the point.
Airis diam saja, tidak menjawab sepatah kata pun. Suara tangisan kecil terdengar samar-samar yang membuat Cakra kaget lalu langsung menengok--padahal saat itu ia sedang menyeruput teh. Cakra melihat bahu Airis bergetar, ia tertunduk ke bawah.
"Ris?"
AIris masih tidak menjawab namun suara tangisnya makin terdengar. Satu persatu tetesan air mata jatuh membasahi celana jins Airis. Cakra bingung dengan apa yang terjadi, ia tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Bagaimana tidak kaget? Sudah mau jam 11, Airis datang ke rumahnya, lalu menangis. Kenapa dia?
Entah dapat dorongan dari mana, tangan Cakra perlahan merangkul tubuh Airis lalu mendekatkan dara yang sedang menangis itu ke tubuhnya. Airis membiarkan kepalang bersandar di bahu Cakra yang mungkin sekarang kaosnya sudah mulai basah akibat tangisannya.
"Entah apa yang terjadi, Ris. Tapi gue percaya semuanya akan baik-baik saja." kata Cakra perlahan, memeluk Airis lebih erat.
Rasa nyaman menjulur tubuh Airis. Ia tidak tahu dapat pencerahan darimana, yang jelas ia ingin menemui Cakra menceritakan segalanya, cuma pada Cakra. Dan sepertinya ia tidak salah orang untuk saat ini. Rasa nyaman yang ia butuhkan, rasa tentram, dan kehangatan dari pelukan Cakra membuatnya lebih baik. Setidaknya untuk saat ini. Walaupun ia masih menangis, Airis merasakan sedikit kebahagiaan--dan ia tidak yakin asalnya.
Cakra mungkin tidak merasakannya tapi rasa untuk mau melindungi itu ada dalam dirinya dan semakin kuat saja. Ia masih memeluk Airis yang menangis dan menambah sedikit kekuatan pelukannya. Ia tidak merasa aneh dengan pelukan ini. Yang ia rasa, gadis satu ini perlu dilindungi.
Malam itu dihabiskan dengan tangisan dalam hening, pelukan hangat, dan rasa menggelitik dalam hati masing-masing.
Ini apa? Cinta?
to be continued.
sorry for the big big late. :)
enjoy.
Langganan:
Komentar (Atom)